Aku memanggilnya cinta karena bagiku dia bagian dari jiwa walau baginya cinta tak bernama dan bermakna.
Pagi yang putih dan basah.
Kata bunda pagi adalah harapan. Sebagai penentu putaran hari. Bila
pagi kau rengkuh dengan hati terkembang, kelak impian yang menari-nari
di benakmu akan kau raih. Dan kau akan menikmati harimu sampai saatnya
matamu terpejam dalam belaian rembulan.
Tapi bagiku pagi adalah
ratapan. Sebuah sensasi rasa yang cukup menyakitkan dan sanggup
menyedot segala tenagaku hingga tak bersisa sampai aku kembali ke
peraduan, untuk sekedar menyembunyikan pedih sebentar dan berharap aku
bahagia, walau itu dalam mimpi.
Seperti pagi ini. Bau rumput
basah membaui indera penciuamanku ketika aku membuka jendela kamarku
lebar-lebar. Mestinya itu terasa segar. Tapi tidak bagiku. Hawa dingin
yang ditebarkan angin pagi justru membuat sakit persendianku. Begitu
menusuk.
Bunda mengetuk kamarku dan sebentar lagi muka cantik
dan bermata sendu itu akan melongok dari balik pintu untuk memastikan
apa aku sudah bangun. Benar bukan? Tidak sampai sepuluh detik pintu
kamarku terkuak dan aku langsung bisa menikmati senyum indah bunda.
Untuk beberapa saat hatiku terhibur.
”Ayo mandi Kayla, dengan mandi putri kecilku pasti semakin cantik,” bunda melempar handuk ke bahuku dan menjawil hidungku.
Aku tersenyum. Demi bunda aku harus selalu ceria. Oh bunda tak pernah
berubah. Masih putri kecilnya bundakah aku? Aku sudah besar bunda,
sudah kelas III SMU, badanku pun sudah lebih tinggi dari bunda, sudah
kenal cinta dan tahu rasanya sakit dari luka yang menganga di hati.
”Tuh kan pagi-pagi sudah bengong, mau jadi apa kalo bawaannya males begini!” hardik bunda.
Sebelum celoteh cerewet bunda lebih beruntun, aku segera masuk ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, tapi menangis.
****
”Vin, plis, aku ingin ketemu,” kataku memelas.
Setelah mencoba puluhan kali, akhirnya aku berhasil menghubungi Handphone Kevin, pacarku.
”Maaf Kayla, aku sedang tidak di Jakarta, aku di Surabaya.”
”Kamu jangan bohong Vin, aku tahu kamu di sini. Rio bilang hari ini kamu sekolah!” sentakku gusar.
”Eh kenapa sih kamu nyari-nyari aku! Udah, jangan ganggu aku lagi Kay!” bentak Kevin membuat hatiku panas.
”Aku pacar kamu Vin, nggak layak kamu bentak-bentak begitu!” Aku berang.
Hening sejenak.
”Kita sudah putus Kay,” kata Kevin kejam sekali dan sangat menyakiti hatiku.
”Nggak bisa begitu Vin, kamu....” kata-kataku nyangkut di tenggorokan.
”Maafin
aku Kay, aku kan sudah bilang kalau aku tidak serius dengan kamu.
Ketika sama kamu aku sedang berantem dengan Nola. Dan sekarang aku
sadar aku masih mencintai Nola.”
”Kamu jahat Vin! Lalu yang
kemarin-kemarin kamu anggap apa hah?! Kamu jahat Vin, aku nggak akan
melepas kamu begitu saja! Tega kamu, aku....!” Aku tercekat, air mata
membasahi ponselku.
Klik. Kevin memutuskan hubungan.
”Kelvin.....!!!!!”
Aku histeris.
”Kayla, kamu kenapa? Aku cari kemana-mana rupanya kamu di sini,” sahabatku Sonya memandang bingung padaku.
Aku diam dan menurut saja ketika Sonya memapahku duduk di bangku yang ada di taman sekolah.
”Cerita sama aku Kay, kamu ada masalah apa?” tanya Sonya.
Aku menengadahkan mukaku menatap gumpalan awan, berharap pedihku membumbung tinggi bersama awan yang berarak.
”Kevin....” dan isakku pecah di bahu Sonya.
*********
Aku
tak pernah menyangka aku akan jatuh cinta padanya. Tentu saja bukan
karena dia tidak menarik. Dia malah sangat menarik. Siapa sih tak akan
kepincut dengan tubuh jangkungnya yang berisi seorang bintang basket di
sekolahnya? Rupanya sungguh rupawan, putih bersih dan terlihat begitu
laki-laki. Matanya nakal dan menusuk tajam siapapun yang dipandangi
olehnya. Dan aku pun, si gunung es meleleh ketika dia bilang aku
sungguh menarik hatinya.
Aku mengenalnya setahun yang lalu ketika
ada pertandingan basket persahabatan antara SMU Nusantara, sekolahku
dengan SMU Merah Putih, sekolahnya Kevin. Penampilannya yang piawai
dalam memainkan bola ditunjang dengan fisik yang menawan dia cepat
mencuri hati anak-anak cewek di sekolahku dan berlomba-lomba cari
perhatian padanya untuk sekedar mendapatkan balasan pesona senyum
darinya. Cuma aku yang memandanginya dari jauh, walu kuakui dia pantas
menjadi idola.
”Kamu tidak tertarik padanya heh?” tanya Rio.
Rio itu sahabatku di Sekolah Dasar dan aku bertemu lagi padanya hari itu
karena dia pun sebagai anggota tim basket yang memperkuat SMU Merah
Putih. Saat itu kami sedang makan di kantin sekolah usai pertandingan
selesai yang dimenangkan oleh Tim dari SMU Merah Putih.
Mukaku memerah. Aku tahu dia tampan, tapi aku tidak seperti yang lain yang bisa dan mau memamerkan perasaan seluwes-luwesnya.
”Nanti aku kenalin dia sama kamu, Kay” Rio berinisiatif.
Aku
mendelik. Apa-apan sih Rio, bikin malu aja! Tapi pandanganku terus
menangkap sosok yang duduk di pojokan kantin yang tampak kewalahan
meladeni para fans yang ingin berkenalan dengannya.
Rupanya Rio
sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ketika mau keluar dari gerbang
sekolah, langkahku dicegat oleh panggilan Rio. Dan hatiku berdesir
melihat siapa yang berjalan ke arahku di belakang Rio. Sepasang mata
itu langsung menikam hatiku. Dan senyumnya tak pernah terlupakan
berhari-hari setelah perkenalan aku dengannya. Sampai Rio datang ke
rumahku dan membawa kabar yang bikin aku melambung tinggi.
”Kevin naksir kamu, Kay. Katanya dia kangen nih,” Rio to the point aja ketika aku menyilahkan dia masuk ke dalam.
“jangan becanda ah,” cetusku lalu menarik tangan Rio.
“Aku nggak bercanda Kay, aku kangen.”
Aku
membalikan badan dan sungguh tak bisa berkata-kata ketika menyadari
tiba-tiba Kevin sudah berdiri di depanku. Aku memandang Kevin
lekat-lekat. Rambutnya yang ikal tampak berantakan ditiup angin nakal.
Penampilannya pun seadanya aja. Hanya berbalut jeans belel dan kaos
biru polos yang dipadukan dengan jacket jeans. Tapi dia terlihat
begitu keren di mataku. Oh Tuhan, aku pun jatuh cinta padanya.
Betapa
bewarnanya hari-hariku kemudian bersamanya. Aku merasa aku gadis
delapan belas tahun yang paling beruntung. Tak aku pedulikan
bisik-bisik teman yang iri pada keberuntunganku. Kevin memang pandai
memperlakukan aku layaknya seorang putri. Kata-katanya yang lembut,
perlakuannya yang romantis dan harapan-harapan yang dia bisikkan
untukku. Lengkap sudah kebahagiaan seorang Kayla yang belum pernah
mengenal apa arti cinta sebelumnya.
***********
Di depan
kelas Pak Rahmat tampak serius menjelaskan pelajaran Fisika. Tapi aku
tak peduli. Aku sibuk mencet-mencet tombol ponselku. Tapi nomor yang
kutuju tidak dapat dihubungi. Aku sudah sedemikian frustasi mencari
Kevin. Sudah satu bulan Kevin menghilang dariku.
”Kata orang di rumahnya dia di mana sih?” tanya Sonya ikutan gusar.
Aku menggelengkan kepala dan mendesah yang keseratus kali ketika SMS
masuk ke ponselku. Nomor tak dikenal tapi isinya membuat harga diriku
terbanting : Kamu murahan amat sih Kay. Aku tidak pernah menyukai kamu
apa lagi mencintai kamu. Jangan ganggu aku lagi. Kevin.
”Brengsek banget tuh anak!” desis Sonya marah.
Hatiku tersayat. Tiba-tiba perutku terasa sakit sekali. Aku sudah tak
sanggup lagi. Kepalaku berputar dan aku tak ingat apa-apa lagi.
***********
Bunda menangis sesenggukan memelukku. Aku diam tak bergeming. Perutku
sudah tidak sakit lagi tapi luka di hatiku masih mengoreng.
”Kenapa jadi begini Kay?” tanya bunda pilu.
Aku diam dan tak mampu menjawab. Ingatanku melayang ke hari yang sangat kusesali, tiga bulan yang lalu.
Sore Sabtu itu seperti biasa Kevin menjemputku di tempat Les bahasa Mandarin. Kami berencana nonton di Plaza Senayan.
”Kamu sudah pamit sama bunda, Kay?’ tanya Kevin lembut.
Aku tersenyum manis padanya. Tentu saja tak usah pamit sama bunda hari
ini karena bunda sedang ke Pontianak sampai lusa. Sepanjang sore dan
malam kami pun menghabiskan waktu dengan gembira. Pukul 09 malam, Kevin
mengantarku pulang. Cuma ada aku dan Kevin malam itu. Dan entah
karena cintaku padanya aku menurut saja ketika dia membujukku untuk
melewatkan malam panajng bersamanya.
”Ayolah Kay, semua teman-teman kita pernah melakukannya. Kamu tidak mau dibilang nggak gaul kan?”
Tadinya aku ragu. Tapi dekapan Kevin di bahuku membuatku luruh. Dan
malam itu setelah semuanya terjadi, aku cuma bisa menangis terisak-isak
menyesali apa yang telah aku lakukan dengan Kevin. Tapi Kevin
merengkuhku dan membujukku kalau itulah artinya cinta dan dia berjanji
akan selalu bersamaku apa pun yang terjadi.
Rekaman kejadian tiga
bulan yang lalu membuatku marah. Tapi yang paling menyakitkan ketika
lebih kurang satu bulan yang lalu aku cerita dengan Kevin kalau aku
sudah dua bulan tidak mendapat haid. Aku bilang aku takut kalau aku
hamil padanya. Tapi Kevin malah marah-marah dan menuduhku mau
menjeratnya. Hari itu kami bertengkar dan itulah kali terakhir aku
bertemu dengannya.
Di sampingku bunda masih terisak. Kenyataan
kalau putri kecilnya telah hamil tiga bulan membuatnya schock. Tapi aku
tak ingin menangis lagi. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan
kandunganku. Aku harus kuat demi bunda dan untuk cinta yang ada di
rahimku.
****************
Aku memandangi ikan mas di kolam ikan yang berada di sudut taman rumah oma. Begitu tenang setenang hatiku kini.
”bunda,” seorang anak kecil usia tiga tahun memanggilku.
Aku melambaikan tangan padanya.
”Bunda , Ayin kangen bunda,” katanya polos.
Aku tersenyum dan memeluk Erin, anak yang kulahirkan tiga tahun yang lalu.
”Tapi nanti setelah bunda tamat sekolah tahun ini ya,” aku berjanji padanya.
Sang malaikat kecil di depanku bersorak gembira.
Aku
tergugu. Setelah kejadian itu, setelah tahu aku hamil, bunda telah
menitipkan aku sama oma di Pontianak. Dua tahun aku cuti sekolah dan
menarik diri dari luar rumah. Kini tahun ketiga aku telah menata
keberanian dan percaya diriku lagi dan sebentar lagi aku lulus SMA. Aku
sudah bilang sama bunda kalau aku akan kembali ke Jakarta, aku ingin
kuliah dan meraih masa depanku sendiri demi cinta yang bernama Erin dan
menjaganya agar dia kelak tumbuh menjadi gadis kecil yang periang dan
membimbingnya menjalani hari-harinya sampai dewasa menjelang.
Mataku
menatap langit luas mencoba menembus tampa batas. Pun sampai hari ini
aku tak bisa melupakan Kevin. Yah Aku pun tetap memanggilnya cinta
karena bagiku dia bagian dari jiwa walau baginya cinta tak bernama dan
bermakn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar